Makalah
PKn
“Sengketa
Sipadan Ligitan”
Oleh :
1.
Ellen Kurniawati S. (06)
2.
Erysa Ekky M. (07)
3.
Fadhilatus S. (08)
4.
Febrian Adi S. (09)
5.
Felisia Arum R. (10)
SMA
N 1 REMBANG
2011
/ 2012
☼ Pengertian sengketa sipadan dan ligitan
Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar
di perbatasan antar kalimantan timur dan Sabah (Malaysia Timur) yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan
koordinat: 4°6′52.86″N
118°37′43.52″E dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan
koordinat: 4°9′N 118°53′E.
☼ Kronologi sengketa
• Persengketaan
antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan
teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan
pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara
lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan
status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak
Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia
karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia
sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam
status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki
sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.
• Karena kita taat pada hukum internasional yang
melarang mengunjungi daerah status quo, ketika anggota kita pulang dari sana
membawa laporan, malah dimarahi. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di
sipadan dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara
di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas
Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan.
Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah.
Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai.
Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera
mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di sana disetop dahulu.
Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa
pemiliknya. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua
pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya
• Pada
tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau
TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama di
pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi
ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota
ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula
sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau batu puteh , sengketa
kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan
spratley di laut cina selatan dengan brunei darusalam , Filipina,
Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu
menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua
warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas
kedua pulau.
• Sikap
pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan
selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak.
• Pada tahun 1992 kedua negara sepakat menyelesaikan masalah
ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara.
Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan
kelompok Kerja Bersama (Joint Commission/JC & Joint Working
Groups/JWG).Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan
tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya
masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebuntuan. Pemerintah RI menunjuk Mensesneg Moerdiono dan dari
Malaysia ditunjuk Wakil PM Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah
untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG. Namun dari empat kali pertemuan di
Jakarta dan di Kuala Lumpur tidak pernah mencapai hasil kesepakatan.
• Dalam
kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 6 - 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto
akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh
Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim memuatkan kesepakatan “Final and
Binding (Special Agreement for the
Submission to the International Court of Justice the Dispute between Indonesia
& Malaysia concerning the Sovereignty over P. Sipadan and P. Ligitan)
pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut.
Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49
Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997. Kemudian kesepakatan itu disampaikan secara resmi ke Mahkamah International (MI)
pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses ligitasi P. Sipadan dan P. Ligitan di
MI mulai berlangsung. Selanjutnya penjelasan dua pulau tersebut sepenuhnya
berada di tangan RI
• Namun demikian kedua negara masih memiliki kewajiban
menyampaikan posisi masing-masing melalui “Written pleading“ kepada
Mahkamah Memorial pada 2 Nopember 1999 diikuti, “Counter Memorial” pada
2 Agustus 2000 dan “reply” pada 2 Maret 2001. Selanjutnya proses “Oral
hearing” dari kedua negara bersengketa pada 3–12 Juni 2002 . Dalam menghadapi
dan menyiapkan materi tersebut diatas Indonesia membentuk satuan tugas khusus
(SATGASSUS) yang terdiri dari berbagai institusi terkait yaitu : Deplu,
Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati
Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut International.
• Indonesia mengangkat “co agent” RI di MI/ICJ yaitu
Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim
Penasehat Hukum Internationl (International Counsels). Hal yang sama juga
dilakukan pihak Malaysia. Proses hukum di MI/ICJ ini memakan waktu kurang lebih
3 tahun. Selain itu, cukup banyak energi dan dana telah dikeluarkan. Menlu
Hassas Wirayuda mengatakan kurang lebih Rp 16.000.000.000 dana telah
dikeluarkan yang sebagian besar untuk membayar pengacara.
☼ Tinjauan Hukum
Internasional Kasus Sipadan Ligitan
• ICJ/MI dalam persidangan-persidangannya guna mengambil
putusan akhir, mengenai status kedua pulau tersebut tidak menggunakan (menolak)
materi hukum yang disampaikan oleh kedua negara, melainkan menggunakan kaidah
kriteria pembuktian lain, yaitu “Continuous presence, effective occupation,
maintenance dan ecology preservation”. Dalam amar keputusannya, Mahkamah
Internasional memutuskan bahwa “Indonesia’s argument that it was successor to
the Sultanate of Bulungan … cannot be accepted”. Sementara itu, Mahkamah
Internasional juga menegaskan bahwa “Malaysia’s argument that it was successor
to the Sultan of Sulu … cannot be upheld”.
• Mahkamah kemudian menyatakan bahwa ukuran yang obyektif
dalam menentukan kepemilikan pulau-pulau tersebut adalah dengan menerapkan doktrin effective occupation. Dua aspek
penting dalam penentuan effective occupation ini adalah keputusan
adannya cut-off date atau sering disebut critical date dan
bukti-bukti hukum yang ada pada tahun 1969.
• Effective occupation sendiri adalah doktrin hukum internasional yang berasal
dari hukum Romawi kuno. Occupation berasal dari konsep Romawi occupatio
yang berarti tindakan administratif
(ada tidaknya suatu perundang-undangan, peraturan hukum,
atau regulasi terkait status wilayah tersebut) dan bukan berarti tindakan pendudukan secara fisik. Effective
occupation sebagai suatu tindakan administratif penguasaan suatu wilayah
hanya bisa diterapkan pada terra nullius atau wilayah baru dan wilayah
tak bertuan, atau wilayah yang dianggap tak bertuan dan disengketakan oleh
negara. Effective occupation tidak bisa diterapkan kepada wilayah yang
diatur oleh perjanjian, keputusan hakim, keputusan arbitrasi, atau registrasi
kepemilikan dengan hukum yang jelas. Karena temasuk doktrin internasional, effective
occupation dikategorikan sebagai sumber hukum materiil yang merujuk pada
bahan-bahan/materi yang membentuk atau melahirkan kaidah atau norma yang
mempunyai kekuatan mengikat; dan menjadi acuan bagi terjadinya sebuah perbuatan
hukum.
• MI
dalam penyelesaian kasus ini menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau
sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan
kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan
Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia
bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian
diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of
Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian
yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet
ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.
• MI juga menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau
sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan
penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. Penafsiran Indonesia terhadap garis
batas 4° 10' LU yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan
berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak
dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau
tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori
van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia
atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak
menjadi bagian dari konvensi 1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif
Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian
kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang
diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
• Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang
berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat
argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan
klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang bersengketa.
• i. Berkaitan dengan pembuktian effectivities
Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat
mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atau Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu
pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan
adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau
dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No.
4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960-yang
merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan
Nusantara, juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
• ii. Berkaitan dengan pembuktian effectivities
Malaysia, Mahkamah menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan
menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai
yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. Serangkaian upaya
Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan
administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti :
• a. Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu
dan pengumpulan telur penyu sejak 1917.
• b. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur
penyu di P. Sipadan pada tahun 1930-an;
• c. Penetapan P. Sipadan sebagai cagar burung, dan
• d. Pembangunan dan pemeliharaan mercusuar sejak tahun
1962 di P. Sipadan dan pada tahun 1963 di P. Ligitan
• Bukti-bukti hukum sebelum 1969 yang menunjukkan adanya effective
occupation atas pulau-pulau Sipadan-Ligitan
:
• a. Indonesia mengajukan bukti-bukti adanya patroli AL
Belanda di kawasan ini dari tahun 1895 hingga 1928, termasuk kehadiran kapal AL
Belanda Lynx ke Sipadan pada November-December 1921; dan adanya survei
hidrografi kapal Belanda Macasser di perairan Sipadan Ligitan pada
Oktober-November 1903. Patroli ini dilanjutkan oleh patroli TNI-AL. Selain itu,
bukti yang diajukan adalah adanya kegiatan perikanan nelayan Indonesia pada
tahun 1950-1960an dan bahkan awal 1970an.
• b. Malaysia mengajukan bukti-bukti berupa bukti hukum
Inggris yakni Turtle Preservation Ordinance 1917; perijinan kapal nelayan
kawasan Sipadan Ligitan; regulasi suaka burung tahun 1933 dan pembangunan suar
pada tahun 1962 dan 1963. Semuanya adalah produk hukum pemerintah kolonial
Inggris, bukan Malaysia.
• Sebelum menilai bukti-bukti Indonesia, Mahkamah
Internasional menegaskan bahwa UU 4/Prp 1960 tentang negara kepulauan tidak
mencantumkan Sipadan-Ligitan sebagai milik Indonesia. Mahkamah berpandangan hal
ini relevan terhadap kasus pulau Sipadan-Ligitan karena Indonesia tidak
memasukkannya dalam suatu perundang-undangan nasional. Terhadap patroli AL
Belanda, Mahkamah berpendapat bahwa hal ini merupakan bagian dari latihan
bersama atau kesepakatan bersama dalam memerangi perompakan, sehingga tidak
bisa dijadikan dasar pengajuan klaim. Mengenai kegiatan perikanan nelayan
Indonesia, Mahkamah berpendapat bahwa “activities by private persons cannot
be seen as effectivitè, if they do not take place on the basis of official
regulations or under governmental authority” Oleh karena kegiatan tersebut
bukan bagian dari pelaksanaan suatu perundang-undangan Indonesia atau di bawah
otoritas Pemerintah, maka Mahkamah menyimpulkan bahwa kegiatan ini juga tidak
bisa dijadikan dasar sebagai adanya effective occupation.
• Mahkamah berpandangan bahwa berbeda dengan Indonesia yang
mengajukan bukti berupa sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan, Malaysia
mengajukan bukti berupa sejumlah ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan
bahwa berbagai peraturan Inggris tersebut menunjukkan adanya suatu “regulatory
and administrative assertions of authority over territory which is specified by
name”. Esensi keputusan ini bukanlah seperti yang dinyatakan sementara kalangan
yakni bahwa negara harus memperhatikan lingkungan hidup, pengembangan ekonomi
atau bahkan keberadaan orang di suatu pulau terpencil untuk menunjukkan effective
occupation, tetapi yang terpenting adalah apakah ada suatu pengaturan hukum
atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan administratif lainnya tentang
pulau tersebut terlepas dari isi kegiatannya. Keputusan ini juga tidak
memberikan makna hukum terhadap pembangunan resort yang dilakukan oleh
Malaysia setelah 1969 dan juga kegiatan perikanan nelayan Indonesia yang tidak
didasarkan atas peraturan perundang-undangan.
☼ Dasar Klaim Sipadan
Ligitan
• Dasar
klaim Indonesia atas Sipadan dan Ligitan adalah isi dari Pasal IV Konveksi
Belanda dan Inggris tahun 1891 yang di tanda tangani di London, dalam pasal itu
menyatakan bahwa kedua negara itu sepakat bahwa batas antara jajahan Belanda
dan negara-negara yang dilindungi Inggris di pulau yang sama di ukur dari titik
4 menit 10 detik lintang utara di pantai timur Kalimantan. Dari titik posisi
itu lantas di tarik ketimur mengikuti garis paralel melintasi Pulau Sebatik.
Bagian pulau yang terletak sebelah utara garis paralel sepenuhnya milik British
North Borneo Company. Sedangkan Bagian selatan garis paralel menjadi hak
milik Belanda. Berdasarkan kesepakatan itu, Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi
masuk ke wilayah Belanda dan di wariskan ke Indonesia yang merdeka pada tahun
17 Agustus 1945. Selain itu juga Indonesia meng-klaim kedua wilayah tersebut
adalah wilayah milik Sultan Bulungan dan menjadi wilayah dari kerajaan Kutai di
Kalimantan.
• Dasar
klaim Malaysia atas Sipadan dan Ligitan adalah Traktat Paris tahun 1809 yang
merupakan perjanjian perbatasan Malaysia dan Filipina. Kemudian perjanjian
Spanyol-Amerika pada tahun 1900 dan perjanjian Inggris-Amerika Serikat pada
tahun 1930. Selain dengan dasar perjanjian-perjanjian tersebut Sipadan dan
Ligitan merupakan hak turun temurun dari Sultan Sulu yang menyerahkan kepada
Spanyol, Amerika Serikat, Inggris dan kemudian kepada Malaysia setelah
memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1963.
Sehingga Indonesia tidak cukup kuat
untuk meng-klaim Sipadan dan Ligitan karena Indonesia setelah ditinggalkan
Belanda, dan telah lama menelantarkan kedua pulau itu. Sesuai dengan aturan
hukum internasional hak atas wilayah bisa diperoleh pihak ke tiga bila
wilayah tersebut di telantarkan untuk kurun waktu tertentu oleh pemilik aslinya
☼ Keputusan Mahkamah
Internasional
• Pada
tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada
hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa
kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya,
dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim,
sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15
merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia
dan satu lagi dipilih oleh Indonesia.
• Kemenangan
Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa
memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim),
yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan
administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa
burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan
operasi mercusuar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang
dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan
chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi
gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia
di selat Makassar.
☼ Kenapa Sipadan dan Ligitan bisa lepas dari Indonesia?
• Karena
Indonesia terlalu bertenggang rasa seperti sikapnya yang pertama kali
diperlihatkan pada awal munculnya sengketa tahun 1969. Selain itu pemerintah
tidak pro aktif melancarkan protes atas usaha malaysia menyelenggarakan
kegiatan di kedua Pulau itu, khususnya Sipadan yang digunakan Pemerintah
Malaysia digunakan sebagai salah satu objek wisata bahari unggulannya, pada
saat kedua negara sepakat memberi “status quo” pada kedua pulau itu. Di
karenakan juga lemahnya diplomasi yang dilakukan indonesia berbanding terbalik
dengat kuatnya malaysia dalam menggalang diplomasi internasional
☼
Kesimpulan
• Bukti-bukti yang diajukan adalah kegiatan Belanda dan
Indonesia melawan bukti hukum Inggris. Jadi dari segi kacamata hukum
internasional, Malaysia mendapatkan pulau-pulau tersebut bukan atas kegiatannya
sendiri tetapi atas kegiatan hukum Inggris yang dilakukan pada tahun 1917,
1933, 1962 dan 1963 jauh sebelum Federasi Malaysia dengan keanggotaan Sabah
dibentuk pada 16 September 1963.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar