Jumat, 02 Mei 2014

Makalah PKn-Sengketa Sipadan Ligitan

Makalah PKn
“Sengketa Sipadan Ligitan”












Oleh :

1.          Ellen Kurniawati S.     (06)
2.          Erysa Ekky M.            (07)
3.          Fadhilatus S.               (08)
4.          Febrian Adi S.             (09)
5.          Felisia Arum R.           (10)





SMA N 1 REMBANG
2011 / 2012
☼ Pengertian sengketa sipadan dan ligitan
Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar di perbatasan antar kalimantan timur dan Sabah (Malaysia Timur) yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E.
Kronologi sengketa
      Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.
       Karena kita taat pada hukum internasional yang melarang mengunjungi daerah status quo, ketika anggota kita pulang dari sana membawa laporan, malah dimarahi. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sipadan dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya
      Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau batu puteh , sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan spratley di laut cina selatan dengan brunei darusalam , Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
      Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak.
      Pada tahun 1992 kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan kelompok Kerja Bersama (Joint Commission/JC & Joint Working Groups/JWG).Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebuntuan. Pemerintah RI menunjuk Mensesneg Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk Wakil PM Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG. Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kuala Lumpur tidak pernah mencapai hasil kesepakatan.
      Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 6 - 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim memuatkan kesepakatan “Final and Binding (Special Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia concerning the Sovereignty over P. Sipadan and P. Ligitan) pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997. Kemudian kesepakatan itu disampaikan secara resmi ke Mahkamah International (MI) pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses ligitasi P. Sipadan dan P. Ligitan di MI mulai berlangsung. Selanjutnya penjelasan dua pulau tersebut sepenuhnya berada di tangan RI
      Namun demikian kedua negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi masing-masing melalui “Written pleading“ kepada Mahkamah Memorial pada 2 Nopember 1999 diikuti, “Counter Memorial” pada 2 Agustus 2000 dan “reply” pada 2 Maret 2001. Selanjutnya proses “Oral hearing” dari kedua negara bersengketa pada 3–12 Juni 2002 . Dalam menghadapi dan menyiapkan materi tersebut diatas Indonesia membentuk satuan tugas khusus (SATGASSUS) yang terdiri dari berbagai institusi terkait yaitu : Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut International.
      Indonesia mengangkat “co agent” RI di MI/ICJ yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl (International Counsels). Hal yang sama juga dilakukan pihak Malaysia. Proses hukum di MI/ICJ ini memakan waktu kurang lebih 3 tahun. Selain itu, cukup banyak energi dan dana telah dikeluarkan. Menlu Hassas Wirayuda mengatakan kurang lebih Rp 16.000.000.000 dana telah dikeluarkan yang sebagian besar untuk membayar pengacara.

☼ Tinjauan Hukum Internasional Kasus Sipadan Ligitan
      ICJ/MI dalam persidangan-persidangannya guna mengambil putusan akhir, mengenai status kedua pulau tersebut tidak menggunakan (menolak) materi hukum yang disampaikan oleh kedua negara, melainkan menggunakan kaidah kriteria pembuktian lain, yaitu “Continuous presence, effective occupation, maintenance dan ecology preservation”. Dalam amar keputusannya, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa “Indonesia’s argument that it was successor to the Sultanate of Bulungan … cannot be accepted”. Sementara itu, Mahkamah Internasional juga menegaskan bahwa “Malaysia’s argument that it was successor to the Sultan of Sulu … cannot be upheld”.
      Mahkamah kemudian menyatakan bahwa ukuran yang obyektif dalam menentukan kepemilikan pulau-pulau tersebut adalah dengan menerapkan doktrin effective occupation. Dua aspek penting dalam penentuan effective occupation ini adalah keputusan adannya cut-off date atau sering disebut critical date dan bukti-bukti hukum yang ada pada tahun 1969.
      Effective occupation sendiri adalah doktrin hukum internasional yang berasal dari hukum Romawi kuno. Occupation berasal dari konsep Romawi occupatio yang berarti tindakan administratif (ada tidaknya suatu perundang-undangan, peraturan hukum, atau regulasi terkait status wilayah tersebut) dan bukan berarti tindakan pendudukan secara fisik. Effective occupation sebagai suatu tindakan administratif penguasaan suatu wilayah hanya bisa diterapkan pada terra nullius atau wilayah baru dan wilayah tak bertuan, atau wilayah yang dianggap tak bertuan dan disengketakan oleh negara. Effective occupation tidak bisa diterapkan kepada wilayah yang diatur oleh perjanjian, keputusan hakim, keputusan arbitrasi, atau registrasi kepemilikan dengan hukum yang jelas. Karena temasuk doktrin internasional, effective occupation dikategorikan sebagai sumber hukum materiil yang merujuk pada bahan-bahan/materi yang membentuk atau melahirkan kaidah atau norma yang mempunyai kekuatan mengikat; dan menjadi acuan bagi terjadinya sebuah perbuatan hukum.
       MI dalam penyelesaian kasus ini menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.
      MI juga menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. Penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10' LU yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
      Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang bersengketa.
      i. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atau Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960-yang merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan Nusantara, juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
      ii. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Malaysia, Mahkamah menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. Serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti :
      a. Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917.
      b. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di P. Sipadan pada tahun 1930-an;
      c. Penetapan P. Sipadan sebagai cagar burung, dan
      d. Pembangunan dan pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di P. Sipadan dan pada tahun 1963 di P. Ligitan
      Bukti-bukti hukum sebelum 1969 yang menunjukkan adanya effective occupation atas pulau-pulau Sipadan-Ligitan :
      a. Indonesia mengajukan bukti-bukti adanya patroli AL Belanda di kawasan ini dari tahun 1895 hingga 1928, termasuk kehadiran kapal AL Belanda Lynx ke Sipadan pada November-December 1921; dan adanya survei hidrografi kapal Belanda Macasser di perairan Sipadan Ligitan pada Oktober-November 1903. Patroli ini dilanjutkan oleh patroli TNI-AL. Selain itu, bukti yang diajukan adalah adanya kegiatan perikanan nelayan Indonesia pada tahun 1950-1960an dan bahkan awal 1970an.
      b. Malaysia mengajukan bukti-bukti berupa bukti hukum Inggris yakni Turtle Preservation Ordinance 1917; perijinan kapal nelayan kawasan Sipadan Ligitan; regulasi suaka burung tahun 1933 dan pembangunan suar pada tahun 1962 dan 1963. Semuanya adalah produk hukum pemerintah kolonial Inggris, bukan Malaysia.
      Sebelum menilai bukti-bukti Indonesia, Mahkamah Internasional menegaskan bahwa UU 4/Prp 1960 tentang negara kepulauan tidak mencantumkan Sipadan-Ligitan sebagai milik Indonesia. Mahkamah berpandangan hal ini relevan terhadap kasus pulau Sipadan-Ligitan karena Indonesia tidak memasukkannya dalam suatu perundang-undangan nasional. Terhadap patroli AL Belanda, Mahkamah berpendapat bahwa hal ini merupakan bagian dari latihan bersama atau kesepakatan bersama dalam memerangi perompakan, sehingga tidak bisa dijadikan dasar pengajuan klaim. Mengenai kegiatan perikanan nelayan Indonesia, Mahkamah berpendapat bahwa “activities by private persons cannot be seen as effectivitè, if they do not take place on the basis of official regulations or under governmental authority” Oleh karena kegiatan tersebut bukan bagian dari pelaksanaan suatu perundang-undangan Indonesia atau di bawah otoritas Pemerintah, maka Mahkamah menyimpulkan bahwa kegiatan ini juga tidak bisa dijadikan dasar sebagai adanya effective occupation.
      Mahkamah berpandangan bahwa berbeda dengan Indonesia yang mengajukan bukti berupa sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan, Malaysia mengajukan bukti berupa sejumlah ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan bahwa berbagai peraturan Inggris tersebut menunjukkan adanya suatu “regulatory and administrative assertions of authority over territory which is specified by name”. Esensi keputusan ini bukanlah seperti yang dinyatakan sementara kalangan yakni bahwa negara harus memperhatikan lingkungan hidup, pengembangan ekonomi atau bahkan keberadaan orang di suatu pulau terpencil untuk menunjukkan effective occupation, tetapi yang terpenting adalah apakah ada suatu pengaturan hukum atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan administratif lainnya tentang pulau tersebut terlepas dari isi kegiatannya. Keputusan ini juga tidak memberikan makna hukum terhadap pembangunan resort yang dilakukan oleh Malaysia setelah 1969 dan juga kegiatan perikanan nelayan Indonesia yang tidak didasarkan atas peraturan perundang-undangan.
☼ Dasar Klaim Sipadan Ligitan
      Dasar klaim Indonesia atas Sipadan dan Ligitan adalah isi dari Pasal IV Konveksi Belanda dan Inggris tahun 1891 yang di tanda tangani di London, dalam pasal itu menyatakan bahwa kedua negara itu sepakat bahwa batas antara jajahan Belanda dan negara-negara yang dilindungi Inggris di pulau yang sama di ukur dari titik 4 menit 10 detik lintang utara di pantai timur Kalimantan. Dari titik posisi itu lantas di tarik ketimur mengikuti garis paralel melintasi Pulau Sebatik. Bagian pulau yang terletak sebelah utara garis paralel sepenuhnya milik British North Borneo Company. Sedangkan Bagian selatan garis paralel menjadi hak milik Belanda. Berdasarkan kesepakatan itu, Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi masuk ke wilayah Belanda dan di wariskan ke Indonesia yang merdeka pada tahun 17 Agustus 1945. Selain itu juga Indonesia meng-klaim kedua wilayah tersebut adalah wilayah milik Sultan Bulungan dan menjadi wilayah dari kerajaan Kutai di Kalimantan.
      Dasar klaim Malaysia atas Sipadan dan Ligitan adalah Traktat Paris tahun 1809 yang merupakan perjanjian perbatasan Malaysia dan Filipina. Kemudian perjanjian Spanyol-Amerika pada tahun 1900 dan perjanjian Inggris-Amerika Serikat pada tahun 1930. Selain dengan dasar perjanjian-perjanjian tersebut Sipadan dan Ligitan merupakan hak turun temurun dari Sultan Sulu yang menyerahkan kepada Spanyol, Amerika Serikat, Inggris dan kemudian kepada Malaysia setelah memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1963.
Sehingga Indonesia tidak cukup kuat untuk meng-klaim Sipadan dan Ligitan karena Indonesia setelah ditinggalkan Belanda, dan telah lama menelantarkan kedua pulau itu. Sesuai dengan aturan hukum internasional hak atas wilayah bisa diperoleh pihak ke tiga bila wilayah tersebut di telantarkan untuk kurun waktu tertentu oleh pemilik aslinya
☼ Keputusan Mahkamah Internasional
      Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia.
      Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercusuar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
Kenapa Sipadan dan Ligitan bisa lepas dari Indonesia?
      Karena Indonesia terlalu bertenggang rasa seperti sikapnya yang pertama kali diperlihatkan pada awal munculnya sengketa tahun 1969. Selain itu pemerintah tidak pro aktif melancarkan protes atas usaha malaysia menyelenggarakan kegiatan di kedua Pulau itu, khususnya Sipadan yang digunakan Pemerintah Malaysia digunakan sebagai salah satu objek wisata bahari unggulannya, pada saat kedua negara sepakat memberi “status quo” pada kedua pulau itu. Di karenakan juga lemahnya diplomasi yang dilakukan indonesia berbanding terbalik dengat kuatnya malaysia dalam menggalang diplomasi internasional
☼ Kesimpulan

      Bukti-bukti yang diajukan adalah kegiatan Belanda dan Indonesia melawan bukti hukum Inggris. Jadi dari segi kacamata hukum internasional, Malaysia mendapatkan pulau-pulau tersebut bukan atas kegiatannya sendiri tetapi atas kegiatan hukum Inggris yang dilakukan pada tahun 1917, 1933, 1962 dan 1963 jauh sebelum Federasi Malaysia dengan keanggotaan Sabah dibentuk pada 16 September 1963.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar