MITIGASI BENCANA
BANJIR ROB
DI JAKARTA UTARA
Oleh :
Andrew Adrian Manalu (135060601111009)
Fadhilatus Shoimah (135060601111023)
Mayora Alvensi Daristan (135060601111022)
Agustina P. Farida Seran (135060601111028)
Fatma
Shafura (135060601111007)
JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH dan
KOTA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2013
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2013
KATA PENGANTAR
Syukur
Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas
limpahan rahmat dan hidayah-Nya tugas besar mata kuliah Pengantar Perencanaan
Wilayah dan Kota dengan judul ”Mitigasi
Bencana Banjir Rob di Jakarta Utara ” dapat terselesaikan. Sholawat
dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W, atas petunjuk untuk
selalu berada di jalan yang diridhoi-Nya.
Penulisan tugas besar ini dapat
terselesaikan atas bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
tak lupa juga disampaikan ucapan terima kasih kepada:
1.
Ibu Mustika Anggraeni, S.T., M.T., sebagai dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan bimbingan dan
dukungan dalam
penyusunan tugas
besar ini.
2.
Bapak Johannes Parlindungan Siregar, S.T., M.T., sebagai dosen yang telah
memberikan bimbingan dan
dukungan dalam
penyusunan tugas
besar ini.
3.
Bapak Eddi Basuki Kurniawan, S.T., M.T., sebagai dosen yang telah memberikan
bimbingan dan
dukungan dalam
penyusunan tugas
besar ini.
4.
Teman-teman seperjuangan jurusan Perencanaan Wilayah dan
Kota, khususnya kelas C Fakultas Teknik Universitas Brawijaya serta semua pihak
yang tidak mungkin disebutkan satu persatu yang telah membantu penyelesaian
tugas besar ini.
Penulis
menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik dan
saran sangat penulis harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan tugas besar ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga karya ini bermanfaat bagi semua pihak yang
berkepentingan.
Malang, 12 Desember 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki wilayah teritorial luas, memiliki banyak gunung api aktif, terletak diantara dua lempengan geologi besar yang selalu
bergerak, memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Kondisi
tersebut mempunyai sisi positif yaitu membawa keuntungan seperti tanah yang
subur, sumber daya manusia melimpah, sumber daya air yang cukup dan kekayaan
budaya, tetapi di samping itu juga mempunyai sisi negatif yang membawa kerugian
seperti seringnya terjadi bencana gunung meletus, gempa bumi, tanah longsor,
banjir, kebakaran hutan, gelombang tsunami, serta banjir rob (pasang).
Fenomena banjir rob terjadi hampir sepanjang
tahun baik pada musim kemarau maupun penghujan di sepanjang
pesisir pantai. Hal ini menunjukan terjadinya banjir rob tidak hanya
dipengaruhi oleh tingkat intensitas curah hujan tetapi lebih dipengaruhi kepada
gaya gravitasi bulan. Gaya gravitasi bulan inilah yang menyebabkan terjadinya
pasang surut air laut. Ketika bulan sedang purnama, maka saat itulah terjadi
pasang maksimal yang akan menyebabkan terjadinya banjir rob. Selain itu juga
karena pengaruh angin laut, angin yang dimaksud disini adalah angin badai yang
dapat menyebabkan air laut membanjiri daratan di sekitarnya.
Gambar 1. 1 Data peristiwa banjir rob di
pesisir Jakarta
Sumber: Liputan 6, 2012
Fenomena banjir rob ini sering terjadi di daerah
pesisir. Tidak hanya pesisir-pesisir kota kecil tetapi pesisir ibukota pun juga
ikut terkena banjir rob tiap tahunnya, khususnya di daerah pesisir Jakarta
Utara. Jakarta Utara merupakan bagian dari ibukota yang mengalami perkembangan
wilayah yang pesat setiap tahunnya. Perkembangan serta pembangunan
infrastruktur yang berbasis kota megapolitan menyebabkan masyarakat
berbondong-bondong untuk melakukan urbanisasi sehingga terjadi kepadatan
penduduk yang ekstrim di ibukota yang ditandai dengan meningkatnya pembangunan
gedung-gedung bertingkat serta meningkatnya aktivitas penduduk, yang mana
secara tidak langsung hal ini menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan air
bersih dan memicu pengambilan air tanah secara besar-besaran. Hal ini
menyebabkan terjadinya penurunan permukaan tanah di Jakarta, dan kenaikan air
laut, sehingga menyebabkan terjadinya banjir rob di daerah Jakarta utara.
Tabel 1.2 Data Penurunan Permukaan
Tanah di Wilayah Jakarta Utara dari Tahun 1993-Tahun 2005
Sumber : Dinas Pertambangan DKI
Jakarta, 2005
Pesisir Jakarta Utara merupakan
teluk yang landai. Kelandaian dasar laut ini lama-kelamaan membentuk
endapan-endapan yang menghambat aliran air sungai menuju laut. Arus pasang kemudian merambat di daerah pantai yang landai
dan membuat genangan di wilayah pesisir. Sehingga pengaruh inilah yang membuat
pesisir Jakarta Utara selalu terkena banjir rob (pasang) setiap tahunnya.
Selain karena faktor tersebut, banjir rob dapat terjadi karena perubahan tata guna lahan di pantai.
Segala aktivitas manusia di daerah dataran dilakukan untuk memenuhi kebutuhan serta kemakmuran. Pembangunan infrastruktur terus dikembangkan baik infrastruktur
transportasi, permukiman, perumahan, komunikasi,
sistem keairan dan lain-lain. Konsekuensi dari perkembangan
infrastruktur adalah perubahan tata guna lahan dari kondisi alam seperti hutan,
tanaman bakau dan tanaman lainnya menjadi kondisi buatan manusia untuk
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Perubahan tata guna lahan lebih
cenderung merubah saja tanpa memperhitungkan dampaknya maka
salah satu kerugian nyata adalah kerugian banjir yang terus meningkat. Meskipun
telah dilakukan upaya-upaya
pengendalian banjir, namun banjir masih terus meningkat. Sesuai dengan teori perubahan tata guna lahan, peningkatan banjir puluhan kali sedangkan
pengendalian banjir terutama dengan pembangunan fisik hanya mampu dan
berkapasitas 2 sampai 3 kali saja. Kegiatan manusia menyebabkan
terjadinya perubahan tata ruang yang berdampak pada perubahan alam. Aktivitas
manusia yang sangat dinamis, seperti pembabatan hutan mangrove (bakau) untuk
daerah hunian, konversi lahan pada kawasan lindung, pemanfaatan sungai/saluran
untuk permukiman, dan pemanfaatan wilayah retensi banjir.
Kawasan pesisir utara
Jakarta merupakan daerah yang rentan terhadap perubahan garis pantai. Pengaruh perubahan tata guna lahan dan fenomena kenaikan muka laut yang mengakibatkan
perubahan garis pantai. Akibat perubahan garis pantai ini sering terjadi
bencana di wilayah pesisir, yang salah satunya adalah kejadian banjir rob
(pasang). Banjir rob (pasang) terjadi pada saat kondisi pasang
maksimum/tertinggi (High Water Level) menggenangi daerah-daerah yang
lebih rendah dari muka laut rata-rata (mean sea level). Limpasan air
laut dengan bantuan gaya gravitasi akan mengalir menuju tempat-tempat rendah,
kemudian akan menggenangi daerah-daerah tersebut.
DKI Jakarta sebagai
pusat kota dan perekonomian di
Indonesia memiliki garis pantai sepanjang ± 32 km di pesisir bagian utara serta
40 % daerah Jakarta merupakan dataran rendah, maka wilayah pantai ini jelas
terkena dampak banjir rob (pasang). Terjadinya pembangunan di setiap titik
wilayah Jakarta, seiring dengan laju peningkatan kepadatan penduduk membuat
daratan menjadi padat dengan bangunan. Kondisi seperti ini menjadikan perubahan wilayah yang basah
menjadi daratan yang kering dengan melakukan pembangunan wilayah basah tanpa
melihat dampak yang akan terjadi. Wilayah- wilayah pesisir utara Jakarta yang
sering mengalami banjir rob (pasang) meliputi wilayah Muara Baru, Muara Angke,
Pluit, Marunda, dan Cilincing. Hampir
sepanjang musim baik musim hujan maupun kemarau daerah pesisir utara Jakarta
ini selalu mengalami banjir rob (pasang). Namun banjir rob (pasang) di kawasan
pesisir Jakarta semakin diperparah dengan adanya perubahan penggunaan lahan
pada pesisir pantai yang mengakibatkan perubahan garis pantai.
Jakarta Utara dengan penduduk
sekitar 1,4 juta jiwa merupakan bagian dari ibukota negara Indonesia yang
letaknya sangat strategis sebagai simpul transportasi regional. Sehingga Jakarta Utara mempunyai kelengkapan sarana prasarana fisik yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut mendorong pertumbuhan
dan perkembangan kota berjalan
dengan cepat. Seiring dengan laju pembangunan Jakarta Utara, Pertumbuhan dan
perkembangan kota menyebabkan perubahan pada kondisi fisik kota, yaitu perubahan
guna lahan. Hal itu tentu saja menimbulkan permasalahan tersendiri pada Jakarta
Utara. Semakin besar suatu kota maka semakin besar atau komplek permasalahan
yang ditimbulkan dan dihadapinya. Jakarta Utara dalam beberapa tahun terakhir ini menghadapi permasalahan
yang cukup sulit, yaitu banjir.
Bencana banjir merupakan
permasalahan umum terutama didaerah padat penduduk pada kawasan perkotaan,
daerah tepi pantai atau pesisir dan daerah cekungan. Masalah banjir
bukanlah masalah baru bagi Jakarta Utara, tetapi merupakan masalah besar karena
sudah terjadi sejak lama dan pada beberapa tahun terakhir mulai merambah ke
tengah kota. Hal tersebut terjadi karena adanya faktor alam dan perilaku masyarakat terhadap
alam dan lingkungan.
Tabel
1.3 Luas Wilayah, Jumlah Rumah
Tangga, Jumlah Penduduk,
Rata-rata Kepadatan Penduduk dan
Anggota Keluarga per
Rumah Tangga di Jakarta Utara Tahun 2003-2035
Sumber : BPS
Proses terjadinya banjir dikarenakan oleh faktor antroposentrik, faktor alam dan faktor teknis. Faktor antroposentrik adalah aktivitas dan perilaku manusia yang cenderung mengakibatkan luasan banjir semakin
meningkatnya. Beberapa faktor antroposentrik yang juga merupakan faktor non
teknis penyebab banjir pada Jakarta Utara, yaitu pembangunan yang tidak
berwawasan lingkungan, misalnya terjadinya perubahan tata guna lahan pada
daerah–daerah lindung seperti daerah perbukitan dan daerah pegunungan sehingga
menimbulkan problem peningkatan run–off
dan banjir kiriman. Sedangkan pembangunan ke arah pantai dengan reklamasi
menyebabkan luasan rawa menjadi berkurang sehingga mengakibatkan luasan
tampungan air sementara juga berkurang. Perkembangan lahan terbangun suatu kota
diakibatkan oleh jumlah penduduk dan kegiatan-kegiatan kota seperti
perumahan, perkantoran, perdagangan, perindustrian dan
lain-lain sehingga meningkatkan kebutuhan terhadap air tanah. Kedua fenomena
tersebut menimbulkan kecenderungan perubahan daya dukung sumber daya air tanah,
sedangkan di pihak lain terjadi penurunan volume/debit pengisian kembali air
tanah. Selain itu pengambilan air tanah secara besar-besaran tanpa diimbangi
dengan pengisian kembali air tanah yang seimbang menyebabkan penurunan muka air
tanah. Penurunan muka air tanah akibat pemompaan air tanah yang berlebihan
tanpa memperhatikan kemampuan pengisian kembali ini dapat menyebabkan amblesnya
permukaan tanah dan intruisi air laut (Asdak, 1995: 243,249). Terjadinya
penurunan muka tanah ini mengakibatkan permukaan air laut lebih tinggi dari
permukaan tanah, kejadian ini dikenal dengan banjir pasang air laut (rob).
Disamping itu perilaku dan
aktivitas manusia yang menghasilkan gas buang karbondioksida (CO2)
yang bersumber dari pembakaran bahan bakar fosil dan chloroflourocarbon (CFC) dari kulkas, sprayer
kemasan kaleng serta AC dapat mengakibatkan terjadinya penipisan pada lapisan
ozon, karena kedua gas buang itu mengeluarkan atom yang dapat merusak molekul ozon di atmosfer. Sehingga terjadi fenomena perubahan
iklim yang ekstrim. Lapisan ozon merupakan pelindung bumi dari pengaruh sinar
matahari sehingga bila lapisan ini menipis maka akan terjadi pemanasan global
yang ditandai dengan meningkatnya intensitas cahaya matahari sehingga terjadi
peningkatan suhu di bumi yang menyebabkan lapisan es di Kutub Utara dan di
Antartika mencair. Akibatnya, permukaan air laut global naik volumenya. naiknya permukaan air laut menyebabkan sebagian pulau dan
tempat rendah di permukaan bumi terendam (Suara Merdeka, 2011).
Terjadinya bencana ini membawa
kerugian material dan non material yang jumlahnya
cukup besar baik itu berupa harta benda masyarakat maupun sarana pelayanan
publik milik pemerintah serta psikis masyarakat yang masih terguncang akibat
banjir rob. Sehingga, diperlukan suatu upaya penyelenggaraan penanggulangan
bencana yang terencana.
1.2 Identifikasi
Masalah
1. Apa saja faktor yang
mempengaruhi kerentanan bahaya banjir rob?
2. Bagaimana klasifikasi
zona bahaya banjir rob di Jakarta Utara?
3. Bagaimana tingkat
kapasitas masyarakat terhadap banjir rob di Jakarta Utara?
1.3 Rumusan Masalah
Bagaimana menentukan sistem
mitigasi bencana yang tepat untuk menanggulangi bencana banjir rob yang terjadi
di Jakarta Utara sehingga dapat diterapkan pada masyarakat untuk mengurangi
kerugian fisik maupun non fisik?
1.4
Tujuan Makalah
1. Mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kerentanan bahaya banjir rob
2. Mengetahui klasifikasi zona bahaya
banjir rob di Jakarta Utara
3. Mengetahui tingkat kapasitas
masyarakat terhadap banjir rob di Jakarta Utara
1.5
Kegunaan Makalah
1.
Membantu mahasiswa untuk mengenal teori mitigasi bencana
2.
Memaparkan peran penting mitigasi bencana terhadap rantai kehidupan
masyarakat
3.
Menjadi sarana pengetahuan tentang teori mitigasi bencana bagi mahasiswa
1.6
Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
Berupa Pendahuluan yang
terdiri dari latar belakang yang berisi mengenai masalah terkait mitigasi bencana, pengidentifikasian permasalahan yang timbul, rumusan
masalah yang berisi pertanyaan terkait masalah mitigasi bencana yang ada di Jakarta Utara, tujuan yang berisi mengenai tujuan melakukan penulisan yang berdasar
pada rumusan masalah,
kegunaan yang berisi mengenai kegunaan melakukan penulisan serta sistematika pembahasan yang berisi tatanan
pembahasan yang dimulai dari pendahuluan sampai ke kesimpulan.
BAB II Pembahasan Teori
Berupa
pembahasan teori yang berisi mengenai ulasan-ulasan teori yang
berkaitan dengan
pembahasan di bab III, meliputi definisi mitigasi bencana dan
banjir rob dan hal-hal yang terkait dengan mitigasi bencana seperti tahap-tahap mitigasi
bencana, konsep mitigasi bencana, komponen-komponen dalam mitigasi bencana,
faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam proses mitigasi bencana dan
prinsip-prinsip mitigasi bencana serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya kerentanan banjir rob.
BAB III Pembahasan
Berupa
pembahasan materi yang berisi gambaran umum yang memberikan
informasi mengenai banjir rob di Jakarta utara serta upaya penanganan mitigasi yang tepat dan penataan ruang kota yang berbasis
mitigasi bencana.
BAB IV Penutup
Berupa kesimpulan dan saran dari
pembahasan dalam makalah ini.
1.7
Kerangka Pemikiran
BAB II
PEMBAHASAN
TEORI
2.1
Definisi
Mitigasi merupakan tahap penanggulangan
bencana alam yang pertama. Upaya ini dilakukan untuk mengurangi dan memperkecil
dampak yang ditimbulkan dari bencana alam. Sedangkan mitigasi bencana adalah serangkaian upaya atau usaha untuk mengurangi bahkan meniadakan
risiko bencana yang meliputi banyaknya korban yang berjatuhan dan kerugian fisik yang timbul, baik melalui pembangunan fisik maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana tersebut.
Bencana merupakan “an
event, natural or man-made, sudden or progressive, which impacts with such
severity that th affected community has to respond by taking exceptional
measures” (Nick Carter, 1991). Bencana (disaster) cenderung mencerminkan
karakteristik sebagai berikut :
1. Gangguan terhadap pola kehidupan
normal. Gangguan tersebut biasanya bersifat besar dan tiba-tiba, tidak terduga
dan tersebar luas.
2. Memberikan dampak pada manusia
seperti korban jiwa, luka-luka, penderitaan dan dampak yang merugikan bagi
kesehatan
3. Berdampak pada struktur sosial
seperti kerusakan pada sistem pemerintahan, bangunan, komunikasi dan sistem
layanan penting lainnya
4. Kebutuhan masyarakat seperti
tempat perlindungan, makanan, pakaian, bantuan pengobatan dan perlindungan
sosial.
Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi bencana merupakan suatu
aktivitas yang berperan sebagai tindakan pengurangan dampak bencana, atau
usaha-usaha yang dilakukan untuk megurangi korban ketika bencana terjadi, baik
korban jiwa maupun harta.
Banjir merupakan peristiwa
yang terjadi ketika terdapat suatu aliran air yang berlebihan merendam daratan.
Rob adalah istilah lain untuk menyebutkan banjir pasang-surut. Banjir rob adalah banjir yang
diakibatkan oleh air laut yang pasang yang menggenangi daratan, merupakan
permasalahan yang terjadi di daerah yang lebih rendah dari permukaan air laut.
2.2 Tahap-Tahap Mitigasi Bencana
1. Pengenalan dan pemantauan risiko
bencana
2. Perencanaan partisipatif penanggulangan
bencana
3. Pengembangan budaya sadar bencana
4. Penerapan upaya fisik, nonfisik, dan
pengaturan penanggulangan bencana
5. Identifikasi dan pengenalan terhadap sumber
bahaya atau ancaman bencana
6. Pemantauan terhadap pengelolaan sumber daya
alam
7. Pemantauan terhadap penggunaan teknologi
tinggi
8. Pengawasan terhadap pelaksanaan tata ruang
dan pengelolaan lingkungan
hidup
9. Kegiatan mitigasi bencana
lainnya
2.3
Konsep
1.
Tahap pertama dalam setiap
strategi mitigasi adalah memahami sifat bahaya yang mungkin akan dihadapi.
2.
Daftar dan urutan bahaya sesuai
dengan kepentingannya berbeda untuk setiap negara dan daerah, bahkan bisa
bervariasi dari desa ke desa. Kajian-kajian dan pemetaan yang ada dapat mengidentifikasikan
bahaya yang paling signifikan di setiap area.
3.
Memahami bahwa setiap bahaya
memerlukan pemahaman tentang :
a.
Penyebab-penyebabnya
b.
Penyebaran geografisnya, ukuran
atau keparahannya, dan kemungkinan frekuensi kemunculannya.
c.
Mekanisme kerusakan fisik, elemen
dan aktivitas yang paling rentan terhadap kerusakan.
d.
Kemungkinan konsekuensi sosial dan
ekonomi dari bencana.
4.
Mitigasi tidak hanya mencakup
penyelamatan mereka yang terluka dan mengurangi kerugian-kerugian harta benda,
tetapi juga mengurangi konsekuensi yang saling merugikan dari bahaya alam terhadap
aktivitas ekonomi masyarakat yang ada.
5.
Penilaian kerentanan merupakan
aspek penting dari perencanaan mitigasi yang efektif. Kerentanan secara tidak
langsung menyatakan baik kerawanan terhadap kerusakan fisik, kerusakan ekonomi dan
kurangnya sumber daya untuk pemulihan yang cepat.
6.
Untuk mengurangi kerentanan fisik,
elemen yang lemah bisa dilindungi atau diperkuat. Untuk mengurangi kerentanan
institusi sosial dan aktivitas ekonomi, infrastuktur perlu modifikasi atau pengaturan
institusi dimodifikasi.
2.4 Komponen-Komponen
Dalam melaksanakan mitigasi bencana dibutuhkan 4
jenis komponen dalam mendukung terlaksananya mitigasi bencana, antara lain:
1.
Komponen pertama yaitu lebih
memfokuskan pada sisi pengorganisasian
manajemen resiko bencana
serta pelatihan ke pihak lain.
2.
Komponen kedua adalah
mendukung implementasi Rencana Awal Manajemen Resiko Bencana dengan pemahaman
akan bencana, kapasitas atau infrastruktur, penguatan institusi.
3.
Komponen 3 adalah menyatukan
kajian resiko bencana dan pilihan yang efektif untuk dikomunikasikan kepada
pengambil keputusan, perencana, pendidik, tokoh masyarakat,dan pejabat lokal
tentang resiko bencana.
4.
Komponen 4 adalah
memfokuskan pada penyediaan dukungan teknis serta logistik untuk pengembangan dan
implementasi kesepakatan manajemen Resiko Bencana dalam suatu kota.
2.5
Faktor–Faktor Yang Harus Diperhatikan
1.
Teknik sipil dan konstruksi
2.
Perencanaan fisik
3.
Tindakan–tindakan ekonomi
4.
Tindakan–tindakan institusi dan
manajemen
5.
Tindakan–tindakan masyarakat
Tindakan–tindakan teknik sipil
mulai dari pekerjaan teknik sipil skala besar sampai penguatan bangunan
individu dan proyek berbasis masyarakat skala kecil. Praktek
perundang–undangan untuk perlindungan bencana kemungkinan tidak efektif jika
undang–undang itu tidak diterima dan dipahami
oleh masyarakat. Pelatihan bagi tukang bangunan lokal dalam teknik untuk
menggabungkan perlindungan yang lebih baik ke dalam struktur tradisional
bangunan, jalan, tanggul, jembatan mungkin menjadi komponen penting dari
tindakan-tindakan semacam itu.
Penempatan secara hati–hati terhadap fasilitas baru terutama fasilitas
masyarakat seperti sekolah, pusat pelayanan kesehatan serta infrastruktur
masyarakat lainnya memainkan suatu peran yang penting dalam mengurangi
kerentanan tempat hunian: di daerah–daerah perkotaan, dekonsentrasi dari
elemen–elemen yang secara khusus beresiko merupakan satu prinsip yang penting.
Hubungan–hubungan antar sektor
ekonomi yang berbeda mungkin lebih rentan terhadap gangguan bencana dibanding
dengan infrastruktur fisik. Diversifikasi ekonomi adalah salah satu cara
penting untuk mengurangi resiko. Suatu ekonomi yang kuat adalah pertahanan yang
paling baik untuk melawan bencana. Di dalam ekonomi yang kuat, pemerintah dapat
menggunakan insentif ekonomi untuk mendorong para individu atau institusi untuk
mengambil tindakan mitigasi bencana.
Membangun perlindungan bencana
memakan waktu yang cukup lama. Diperlukan dukungan oleh suatu program
pendidikan, pelatihan dan pembangunan
institusi untuk memberi pengetahuan profesional dan kompetensi yang dibutuhkan.
Perencanaan mitigasi harus
bertujuan untuk mngembangkan suatu budaya keselamatan dimana semua anggota
masyarakat sadar akan bahaya yang mereka hadapi, mengetahui bagaimana
melindungi diri mereka, dan akan mendukung upaya perlindungan dari orang lain dan
masyarakat secara keseluruhan.
2.6 Prinsip-Prinsip
Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas
tiga tahap yang meliputi tahap pra bencana, tahap tanggap darurat dan tahap
pasca bencana. Pelaksanaan kegiatan pada setiap tahap menganut prinsip-prinsip
sebagai berikut
1.
Tahap Pra Bencana
Dalam tahap pra bencana
kegiatan mitigasi bencana dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan dalam bentuk penegakan hukum/peraturan
pemerintah pusat dan daerah
dalam pembangunan fisik di lapangan yang bertujuan untuk mengurangi dampak
kerugian yang terjadi bila ada bencana seperti dengan mematuhi rencana tata
ruang dan tata
bangunan yang telah ditetapkan. Kesiapsiagaan dilakukan untuk memastikan upaya
yang cepat dan tepat yang
perlu ditempuh dalam menghadapi situasi darurat.
2.
Tahap Tanggap Darurat
Dalam tahap tanggap darurat kegiatan mitigasi bencana,
dukungan yang diberikan dalam kegiatan evakuasi korban bencana adalah
penyediaan dan pengoperasian peralatan yang diperlukan untuk mendukung dan
memberikan akses bagi pelaksanaan kegiatan pencarian dan evakuasi korban
bencana beserta harta bendanya di lokasi dan keluar dari lokasi bencana.
Pelaksanaan kegiatan tanggap darurat utamanya dilakukan untuk memulihkan
kondisi dan fungsi prasarana dan sarana yang rusak akibat bencana yang bersifat
darurat/sementara namun harus mampu mencapai tingkat pelayanan minimal yang
dibutuhkan, dan menyediakan berbagai sarana yang diperlukan bagi perawatan dan penampungan
sementara para pengungsi korban bencana.
3.
Tahap Pasca Bencana
Dalam tahap pasca bencana kegiatan mitigasi bencana,
kegiatan rehabilitasi da rekonstruksi yang dilaksanakan harus diupayakan untuk
melibatkan peran serta masyarakat. Bantuan dari pemerintah diutamakan berupa
stimulan yang diharapkan akan dapat mendorong tumbuhnya keswadayaan masyarakat.
Pekerjaan rehabilitasi dan rekonstruksi diutamakan bagi prasarana dan sarana
serta rumah bagi masyarakat yang tidak mampu dengan pendekatan tridaya dalam
pelaksanaannya (permukiman).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Gambaran Umum
Jakarta Utara dengan
luas wilayah 143,21 km2 memiliki batas-batasnya sebagai
berikut:
Jakarta utara
terdiri dari 31 Kelurahan, 405 RW, 4676 RT. Wilayah Jakarta Utara membentang
dari barat ke timur sepanjang kurang lebih 35 km, menjorok ke darat antara 4
s/d 10 km. Ketinggian dari permukaan laut antara 0-2 M. Jakarta utara merupakan
wilayah pantai beriklim panas dengan suhu rata-rata 28,7 C. curah hujan
rata-rata setiap bulan mencapai 135,93 mm dengan maksimal curah jujan pada
bulan Januari. Kelembaban udara rata-rata 74,7 persen yang disapu angin dengan
kecepatan sekitar 4,79 knot sepanjang tahun. Kondisi wilayah yang merupakan
daerah pantai dan tempat bermuaranya 13 sungai menyebabkan wilayah ini
merupakan daerah rawan banjir.
Pesisir utara Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian
rata-rata ± 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi 5° 56' 15'' -
6° 55' 30'' LS dan 106° 43' 00'' – 106° 58' 30'' BT , dengan batas di sebelah
Barat berbatasan dengan Tanjung Pasir dan di sebelah Timur berbatasan Tanjung
Karawang. Luas perairan Teluk Jakarta sekitar 514 km2 dan panjang garis
pantainya lebih kurang 80 km dimana 32 km merupakan garis pantai Daerah Khusus
Ibukota DKI Jakarta (Setiapermana dan Nontji, 1980).
Sistem perairan Teluk Jakarta dipengaruhi oleh limpasan air 13 muara
sungai yang melewati wilayah Jakarta Utara. Ketiga belas sungai tersebut terdiri
dari 3 sungai besar, yaitu Sungai Citarum, Sungai Bekasi, dan Sungai Ciliwung
serta 10 sungai kecil, yaitu: Sungai Kamal, Sungai Cengkareng Drain, Sungai
Angke, Sungai Karang, Sungai Ancol, Sungai Sunter, Sungai Cakung, Sungai
Blencong, Sungai Grogol, dan Sungai Pesanggrahan (Damar, 2003).
Teluk Jakarta merupakan perairan dangkal yang pada umumnya memiliki
kedalaman kurang dari 30 meter (Setiapermana dan Nontji, 1980). Dasar perairan
melandai ke arah utara menuju Laut Jawa. Perairan Teluk Jakarta dapat dibagi
dalam tiga zona yaitu zona barat, timur, dan tengah. Zona barat dipengaruhi
oleh sungai-sungai yang sebelum bermuara di perairan teluk, melalui kota
metropolitan Jakarta. Zona tengah selain mendapat pengaruh dari sungai-sungai
tersebut juga dipengaruhi oleh aktivitas beberapa buah pelabuhan, yaitu :
Pelabuhan Pelindo, Pelabuhan Sunda Kelapa, Pelabuhan Cilincing, dan lain-lain.
Sementara itu, zona timur mendapat pengaruh dari sungai Citarum dan beberapa
sungai kecil yang melalui daerah indrustri dan pemukiman Bekasi.
Ketinggian dari permukaan laut antara 0-20 meter, dari tempat tertentu
ada yang dibawah permukaan laut yang sebagian besar terdiri dari
rawa-rawa/empang air payau. Wilayah Jakarta Utara merupakan pantai beriklim
panas, dengan suhu rata-rata 27oC, curah hujan setiap tahunnya
rata-rata 142,54 mm dengan maksimal curah hujan pada bulan September. Kondisi
wilayah yang merupakan daerah pantai dan tempat bermuaranya 9 (sembilan) sungai
dan 2 (dua) banjir kanal, menyebabkan wilayah ini merupakan daerah rawan
banjir, baik kiriman maupun banjir karena air pasang laut.
Sungai-sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta ini menyebabkan perairan
tersebut menjadi tempat pembuangan cemaran-cemaran aktivitas manusia. Pada
perairan tersebut, musim mempengaruhi kondisi perairan karena menentukan arah dan
kecepatan arus air laut. Perairan Teluk Jakarta dipengaruhi oleh massa air Laut
Jawa, seperti pada musim barat (November- April) massa air dari Laut Natuna
mempengaruhi massa air Teluk Jakarta sedangkan pada musim timur (Mei-Oktober)
arus berasal dari Laut Jawa bagian Timur (Pemprov DKI Jakarta, 2010).
3.2
Faktor-faktor
yang Berpengaruh terhadap Terjadinya
Kerentanan Banjir Rob
3.2.1 Kerentanan dari Aspek Lingkungan
1.
Pasang surut laut
Pasang surut laut adalah
pergerakan permukaan air laut kearah vertikal disebabkan pengaruh gaya tarik
bulan, matahari dan benda angkasa terhadap bumi sehingga air laut naik ke
daratan. Gerakan permukaan air laut berperiodik sesuai gaya tariknya,
intensitas gaya tarik akan berfluktuasi sesuai posisi bulan, matahari dan bumi.
Posisi bulan dan bumi akan mempengaruhi besar kecilnya tunggang air. Tunggang
air (tidal range) yaitu perbedaan tinggi air antara pasang maksimum (High
Water) dan pasang minimum (Low Water) disebut tunggang air dengan
tinggi air rata-rata mencapai dari beberapa meter hingga puluhan meter. Puncak
gelombang disebut pasang maksimum dan lembah gelombang disebut pasang minimum
(Wibisono, 2005). Pasang terutama disebabkan
oleh adanya gaya tarik menarik antara dua tenaga yang terjadi di lautan, yang
berasal dari gaya sentrifugal yang disebabkan oleh perputaran bumi pada
sumbunya dan gaya gravitasi yang berskala dari bulan. Gaya sentrifugal adalah
suatu tenaga yang didesak ke arah luar dari pusat bumi yang besarnya lebih
kurang sama dengan tenaga yang ditarik ke permukaan bumi. Tidak sama halnya
dengan gaya tarik gravitasi bulan di mana gaya ini terjadi tidak merata pada
bagian-bagian permukaan bumi. Gaya ini lebih kuat terjadi pada daerah-daerah yang
letaknya lebih dekat dengan bulan, sehingga gaya yang terbesar terdapat pada
bagian bumi yang terdekat dengan bulan dan gaya yang paling lemah terdapat pada
bagian yang letaknya terjauh dari bulan. Gaya tarik gravitasi menarik laut ke
arah bulan dan matahari dan menghasilkan dua tonjolan (bulge) pasang
surut gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan pasang surut ditentukan oleh
deklinasi, sudut antara sumbu rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan matahari
(Hutabarat dan Evans,1988).
Periode pasang surut adalah waktu
antara puncak atau lembah gelombang ke puncak atau lembah gelombang berikutnya.
Nilai periode pasang surut bervariasi antara 12 jam 25 menit hingga 24 jam 50
menit. Pasang purnama (spring tide) terjadi ketika bumi, bulan dan
matahari berada dalam suatu garis lurus. Pada saat itu akan dihasilkan pasang
tinggi yang sangat tinggi dan pasang rendah yang sangat rendah. Pasang purnama
ini terjadi pada saat bulan baru dan bulan purnama. Pasang perbani (neap
tide) terjadi ketika bumi, bulan, dan matahari membentuk sudut tegak lurus.
Pada saat itu akan dihasilkan pasang tinggi yang rendah dan pasang rendah yang
tinggi. Pasang surut perbani ini terjadi pada saat bulan ¼ dan ¾.
Pasang surut bersifat
periodik, data amplitudo dan beda fase dari komponen pembangkit pasang surut
dibutuhkan untuk meramalkan pasang surut. Komponen-komponen utama pasang surut
terdiri dari komponen tengah dan harian. Namun demikian, karena interaksinya
dengan bentuk morfologi pantai dan superposisi antar gelombang pasang surut
komponen utama, terbentuk komponen-komponen pasang surut yang baru (Pond dan
Pickard, 1983).
2.
Intensitas curah hujan
Semakin tinggi intensitas hujan,
maka semakin rentan terhadap bencana banjir rob.
3.
Geomatrik sungai
Jarak kedekatan dari sungai yang
terpengaruhi oleh pasang surut air laut.
4.
Topografi
Semakin rendah ketinggian
topografi, maka semakin rentan terhadap bencana banjir rob. Kondisi topografi Jakarta utara sebagian besar terdiri dari
daratan hasil dari pengurukan rawa-rawa yang mempunyai ketinggian rata-rata 0
s/d 1 diatas permukaan laut terutama ditemukan disepanjang pantai.
5.
Jenis Tanah
Berhubungan dengan indikasi
kemampuan tanah untuk mendukung proses peresapan air kedalam.
Fenomena “Banjir” di
Kota DKI Jakarta memang tidak selalu berhubungan dengan telah amat dangkalnya
MAT yang ada, namun juga karena “time lag” antara lambatnya perjalanan
air masuk ke tanah dibandingkan dengan cepatnya air hujan tiba.
6.
Penggunaan Lahan
Semakin tinggi tutupan lahannya,
maka semakin rentan terhadap bencana banjir rob. Penutupan lahan (land
cover) adalah perwujudan secara fisik (kenampakan visual) dari vegetasi, benda alami dan
unsur-unsur budaya yang ada di permukaan bumi tanpa mempermasalahkan kegiatan
manusia pada objek yang ada (Townshend dan Verge, 1998). Dinamika tingkat perkembangan penutupan lahan disebabkan oleh
faktor utamanya yaitu faktor manusia dan faktor alam itu sendiri yang mudah
berubah. Perubahan yang berasal dari faktor manusia antara lain dipicu oleh
tingkat aksebilitas, pesatnya laju pertumbuhan penduduk, jarak lokasi terhadap
pusat kegiatan (infrastruktur). Faktor dari alam seperti iklim dan erosi sangat
mempengaruhi perubahan di lahan yang labil terutama di daerah pantai atau
sungai.
7.
Penurunan muka tanah
Penurunan tanah akibat beban
bangunan dan kadar atau jumlah air tanah berkurang.
Gambar
4.6
Peta Penurunan Tanah di Jakarta
Sumber :
Jakarta Coastal Defence Strategy, 2013
8.
Garis Pantai
Garis pantai (shoreline) adalah
garis yang dibentuk oleh perpotongan antara air laut dengan daratan pantai.
Garis pantai selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu, baik perubahan sementara
akibat pasang surut maupun perubahan yang permanen dalam jangka waktu yang
panjang akibat abrasi dan akresi pantai atau keduanya (Pratikto, 2004).
Penyebab
perubahan garis pantai dipengaruhi oleh faktor alami dan manusiawi. Faktor
alami terdiri dari sedimentasi, abrasi, pemadatan sedimen pantai dan kondisi
geologi. King, 1974 menyebutkan bahwa secara umum ada tiga hal yang berpengaruh
terhadap faktor alami pada perubahan fisik pantai, yaitu gelombang, pasang
surut, dan angin. Faktor manusiawi meliputi penanggulangan pantai, reklamasi
(penggurugan pantai), penggalian sedimen pantai, penimbunan pantai, pembabatan
hutan bakau pelindung pantai, pembuatan kanal banjir, dan pembangunan pelabuhan
atau bangunan pantai lainnya.
Upaya penanggulangan
erosi pantai antara lain dengan dibangunnya tembok laut sea wall atau
pelindung tebing revetment, krib tegak lurus pantai groin dan
pemecah gelombang sejajar pantai (Pratikto, 2004).
Giant sea wall adalah sebuah
tanggul laut raksasa yang membentengi Teluk
Jakarta. Proyek dengan panjang 35-60 kilometer dan tersebut dirancang untuk
mengatasi banjir akibat kenaikan permukaan air laut, membersihkan air sungai
sebelum ke laut, dan reklamasi pantai.
Konsep pembangunan
tanggul ini tidak hanya untuk sepuluh hingga 20 tahun mendatang, tetapi untuk
50 hingga 100 tahun ke depan. Rencana pembangunan tanggul laut raksasa dengan
varian opsi yang telah dimasukkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI
Jakarta. Panjang tanggul diperkirakan 35 hingga 60 kilometer.
Tujuan dari konsep ini
yaitu untuk menciptakan danau air tawar sebagai buffer atau penyangga tata air
di darat dan menciptakan daratan baru yang sangat besar tanpa pembebasan dan
pemindahan warga, terciptanya banyak lapangan kerja, serta menciptakan
sekaligus melestarikan hutan bakau baru di lepas pantai. Pembangunan giant
sea wall untuk menjaga bahaya rob dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan
air bersih. Selama proyek giant sea wall belum berjalan,
Pemprov DKI dalam waktu dekat membangun pabrik penjernihan air di Curug,
Karawang, Jawa Barat. Proyek ini merupakan solusi jangka pendek memenuhi
kebutuhan air bersih Jakarta dan solusi jangka panjangnya adalah dengan
membangun giant sea wall.
9.
Kenaikan muka laut
Kenaikan
muka laut merupakan fenomena naiknya muka air laut terhadap rata-rata muka laut
(titik acu benchmark di darat) akibat pertambahan volume air laut.
Perubahan tinggi permukaan air laut dapat dilihat sebagai suatu fenomena alam
yang terjadi secara periodik maupun menerus. Perubahan secara periodik dapat
dilihat dari fenomena pasang surut air laut, sedangkan kenaikan air laut yang
menerus adalah seperti yang teridentifikasi oleh pemanasan global. Selain itu,
mencairnya es di kutub dan gletser juga memberikan kontribusi terhadap
perubahan kenaikan muka laut. Dampak yang terjadi secara permanen antara lain
perubahan kondisi ekosistem pantai, meningkatnya erosi, makin cepatnya
kerusakan yang terjadi bergantung pada tingkat dan jenis pemanfaatan kawasan
tepi pantai.
Menurut IPCC (Intergovernmental
Panel on Climate Change), memperkirakan bahwa pada kurun waktu 100 tahun
terhitung mulai tahun 2000 permukaan air laut akan meningkat setinggi 15-90 cm
dengan kepastian peningkatan setinggi 48 cm. Apabila perkiraan IPCC tentang
kenaikan muka laut terjadi, maka diperkirakan Indonesia akan kehilangan 2.000
pulau. Hal ini pula yang akan menyebabkan mundurnya garis pantai di sebagian
besar wilayah Indonesia (Mimura, 2000).
Dampak
negatif yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat pesisir pantai di
Indonesia dari fenomena kenaikan muka laut diantaranya erosi garis pantai,
penggenangan wilayah daratan, meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir,
meningkatnya dampak badai di daerah pesisir, salinisasi lapisan akuifer dan
kerusakan ekosistem wilayah pesisir.
3.2.2 Kerentanan dari Aspek
Fisik
1.
Jalan
Semakin
rendah ketersediaan jalan dan buruknya kondisi jalan, akan semakin rentan
terhadap bencana banjir rob.
2.
Kepadatan permukiman
Luasan
area terbangun suatu wilayah/jumlah bangunan diatas satu luasan wilayah yang
dinyatakan dengan bangunan/ha dinamakan kepadatan permukiman.
3.2.3 Kerentanan dari Aspek
Sosial
1.
Tingkat kepadatan penduduk
Semakin
tinggi tingkat kepadatan penduduk maka semakin rentan terhadap bencana banjir
rob. Kota administrasi di provinsi DKI Jakarta
yang paling jarang
penduduknya adalah Jakarta Utara karena setiap 1 km2 dihuni
oleh 11.218 jiwa.
2.
Tingkat laju pertumbuhan
penduduk
Gambar 4.8 Jumlah Penduduk Jakarta Utara tahun 2003-2020
Sumber :
Dinas PU Jakarta, 2009
3.
Persentase jumlah lansia dan
balita
Semakin
banyak jumlah penduduk usia tua dan balita, maka semakin rentan terhadap bencana banjir rob.
Sumber : BKKBN, 2013
3.2.4 Kerentanan dari Aspek
Ekonomi
1.
Persentase rumah tangga yang
bekerja di sektor pertanian
Semakin
banyak pekerja yang bekerja di sektor pertanian, maka semakin rentan terhadap
bencana banjir rob.
2.
Persentase rumah tangga
miskin
Semakin
banyak rumah tangga miskin,maka semakin rentan terhadap bencana banjir rob.
Tabel 4.1 Jumlah Rumah Tangga Miskin di Jakarta
Sumber : BPS DKI Jakarta, 2011
3.2.5 Kapasitas Fisik
1.
Jarak menuju tempat
pengungsian
Jarak
penduduk untuk mencapai tempat pengungsian ketika terjadi bencana.
2.
Fasilitas kesehatan
Jumlah fasilitas kesehatan di suatu wilayah.
3.2.6 Kapasitas Sosial
1.
Keberadaan
organisasi
Tingkat
keberadaan organisasi kemasyarakatan yang berhubungan dengan penanggulangan
bencana di masyarakat.
2.
Kekerabatan
penduduk dalam upaya penanggulangan bencana
Tingkat
kekerabatan penduduk dalam masyarakat sebagai upaya penanggulangan bencana.
3.2.7 Kapasitas Sumber Daya
Masyarakat
1.
Keterlibatan
masyarakat dalam sosialisasi kebencanaan
Tingkat keterlibatan masyarakat didalam
diskusi/sosialisasi kebencanaan.
2.
Keterlibatan
masyarakat dalam pelatihan persiapan sebelum terjadi bencana. Intensitas warga dalam mengikuti
pelatihan persiapan bencana.
3.2.8 Kapasitas Ekonomi
1.
Rata-rata
pendapatan masyarakat dalam waktu satu bulan
Tingkat pendapatan masyarakat
dalam satu bulan.
2.
Kepemilikan
asuransi jiwa
Tingkat kepemilikan asuransi jiwa.
3.3 Tingkat Kerentanan Banjir Rob
Tingkat kerentanan terbagi menjadi 5, yaitu zona sangat rentan, zona
rentan, zona cukup rentan, zona sedikit rentan dan zona tidak rentan.
Tabel 3.2 Luasan kecamatan berdasarkan
tingkat bahaya banjir rob
No.
|
Kecamatan
|
Klasifikasi (km2)
|
||||
1.
|
Penjaringan
|
0
|
0,06
|
7,34
|
20,54
|
7,84
|
2.
|
Pademangan
|
0
|
0
|
1,01
|
8,54
|
2,20
|
3.
|
Tanjung Priok
|
0
|
0
|
5,19
|
13,94
|
5,48
|
4.
|
Koja
|
0
|
0
|
2,99
|
4,65
|
3,22
|
5.
|
Kelapa Gading
|
1,58
|
2,55
|
11,94
|
0
|
0
|
6.
|
Cilincing
|
2,36
|
3,27
|
14,38
|
14,15
|
6,29
|
Total
|
3,94
|
5,88
|
42,85
|
61.73
|
25,03
|
Sumber: Hasil Analisa GIS, 2012
Daerah yang masuk zona rentan dan sangat rentan berdasarkan hasil analisa
adalah Cilincing. Daerah lain termasuk dalam zona sedikit rentan dan cukup
rentan.
3.4 Tingkat
Bahaya Banjir Rob
Di Jakarta Utara terdapat 6 daerah yang memiliki klasifikasi bahaya
banjir rob (dari angka 1 sampai 5) berdasarkan luasan wilayah yang
berbeda-beda. Semakin besar angka menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin
rentan dengan bencana banjir rob.
3.5
Tingkat Kapasitas Masyarakat terhadap Banjir Rob
Tingkat kapasitas masyarakat
terhadap banjir rob di dapatkan 3 kelas, yakni kelas kapasitas sangat rendah,
kapasitas sedikit, dan kapasitas cukup.
Tabel 3.3
Luas klasifikasi kapasitas setiap kecamatan
No.
|
Kecamatan
|
Klasifikasi (Km2)
|
||
1
|
2
|
3
|
||
1.
|
Penjaringan
|
0,99
|
18,01
|
16,44
|
2.
|
Pademangan
|
0,06
|
10,71
|
1,23
|
3.
|
Tanjung Priok
|
0,55
|
20,48
|
2,88
|
4.
|
Koja
|
0,25
|
10,5
|
0,1
|
5.
|
Kelapa Gading
|
0,03
|
15,9
|
0
|
6.
|
Cilincing
|
0,58
|
20,98
|
18,73
|
Jumlah
|
2,46
|
96,04
|
39,38
|
Sumber : Jurnal Teknik Pomits
Vol. 2
3.6 Pengendalian
Banjir Berbasis Tata Ruang
Undang-undang No. 26 Tahun 2007
mengenai Penataan
Ruang diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah Indonesia yang
rentan terhadap bencana alam. Secara geografis, Indonesia termasuk dalam kawasan rawan
bencana sehingga diperlukan suatu penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana dengan harapan meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan masyarakat. Mitigasi bencana merupakan serangkaian upaya untuk
mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana sesuai dengan Undang-undang
No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. Hal ini dapat diwujudkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah yang
dikategorikan sebagai salah satu mitigasi bencana yang bersifat pasif sesuai
pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana.
Gambar 4. Siklus Pengelolaan Bencana
Sumber : Carter, 1991
Pengelolaan bencana alam seperti banjir rob
dapat dilakukan dengan tindakan mitigasi. Tindakan mitigasi memiliki
2 sifat, yaitu mitigasi pasif serta mitigasi aktif. Mitigasi pasif lebih cenderung bersifat non fisik, contohnya
kerangka hukum/perundangan, insentif-disinsentif, pendidikan dan pelatihan,
peningkatan kesadaran masyarakat, Rencana Tata Ruang, pengembangan kelembagaan,
dan lain-lain. Sedangkan
mitigasi aktif, merupakan suatu upaya yang sifatnya fisik, seperti pembuatan bangunan waduk, tanggul,
perkuatan struktur bangunan, dan lain-lain.
Mitigasi bencana dalam konteks penataan ruang dapat diartikan sebagai alat untuk mencegah/
menghindari / menghilangkan bahaya (hazard), mengurangi tingkat
kerentanan, serta meningkatkan
ketahanan suatu wilayah/kawasan tertentu. Implementasinya dapat diwujudkan
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah yang dikategorikan sebagai salah satu alat
mitigasi bencana pasif.
Beberapa hal mendasar dalam penataan ruang yang
berbasiskan mitigasi bencana alam, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Penataan Ruang didasari dengan
pengenalan serta pemahaman mengenai risiko bencana di kawasan yang akan ditata sehingga diperlukan kajian terhadap kawasan rawan bahaya.
2. Pengaturan pemanfaatan ruang
yang memiliki ancaman bencana, melalui pengaturan fungsi ruang, aturan
membangun, pembatasan penggunaan.
3. Pengembangan struktur ruang dengan memperhatikan
kebutuhan fasilitas pendukung kawasan rawan
bencana.
4. Penyediaan jalur-jalur dan
daerah evakuasi dan bantuan darurat untuk antisipasi keadaan darurat
Berdasarkan Undang-Undang no .26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang kemudian diatur lebih lanjut pada
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (RTRWN), kawasan andalan di sekitar
DKI Jakarta ada 3, yaitu kawasan perkotaan Jakarta, kawasan Bopunjur dan kawasan andalan laut Pulau
Seribu, dengan sektor unggulan industri, pariwisata, perikanan, perdagangan,
jasa, dan pertambangan. Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Puncak, Cianjur (Jabodetabekpunjur) termasuk Kepulauan Seribu yang telah ditetapkan
sebagai kawasan strategis nasional yang memerlukan perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang secara terpadu. Kawasan
strategis nasional adalah kawasan
yang penataan ruangnya diprioritaskan karena memilikii pengaruh penting terhadap kedaulatan negara, pertahanan
dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan, termasuk wilayah yang telah
ditetapkan sebagai warisan dunia.
Sebagai tindak lanjut dari PP no 26 tahun 2008, pada tanggal
12 Agustus 2008 telah diterbitkan Peraturan Presiden No. 54 tahun 2008 tentang
Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur khususnya untuk wilayah DKI Jakarta
dan kawasan Depok, Tangerang, Bekasi, Bogor, Puncak dan Cianjur.
Dalam Perpres tersebut disebutkan bahwa tujuan dari
penatan ruang di wilayah Jabodetabekpunjur adalah mewujudkan lingkungan yang
berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan, untuk menjamin berlangsungnya
konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan,
serta menanggulangi banjir. Sedangkan sasaran
dari penataan ruang di Jabodetabekpunjur adalah tercapainya kesepakatan antar
daerah untuk mengembangkan sektor dan kawasan prioritas menurut tingkat
kepentingan bersama.
Peraturan Presiden ini meliputi kebijakan serta strategi penataan ruang,
rencana tata ruang kawasan Jabodetabekpunjur,
arahan pemanfaatan ruang, arahan pengendalian pemanfaatan ruang, pengawasan
pemanfaatan ruang, kelembagaan, peran masyarakat, dan pembinaan. Penataan ruang
kawasan Jabodetabekpunjur memiliki peran sebagai acuan bagi penyelenggaraan
pembangunan yang berkaitan dengan upaya konservasi air dan tanah sebagai upaya
menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, penanggulangan banjir, dan
pengembangan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat.
Strategi penataan ruang kawasan Jabodetabekpunjur yaitu mendorong
adanya pembangunan kawasan yang dapat menjamin tetap berlangsungnya konservasi
air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, serta
menanggulangi banjir dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan yang
berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan.
Rencana Tata Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur berisi
rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. Rencana struktur ruang terdiri
dari sistem pusat permukiman dan sistem jaringan
prasarana, yang mana jaringan
prasarana tersebut termasuk dalam sistem
drainase dan pengendalian banjir serta sistem pengolahan sampah.
Upaya yang dilakukan dalam mengatasi masalah banjir rob
dari segi tata guna lahan dan perencanaan tata ruang adalah dengan melakukan
beberapa tindakan penyeimbang (membangun kolam-kolam, situ, sumur penyerapan
dan lain-lain) untuk pembangunan di atas tanah basah atau daerah konservasi kawasan
hulu, daerah resapan sungai untuk meminimalkan dampak negatif pembangunan dan
meningkatkan kepedulian lembaga, organisasi, dinas dan masyarakat atas isu-isu
lingkungan sehingga mampu melestarikan keseimbangan ekosistem daerah Jakarta
dan sekitarnya.
Untuk menangani banjir rob perlu langkah-langkah sebagai
berikut: pembangunan drainase non gravitasi di sungai-sungai yang melintasi
Jakarta Utara, pembuatan peraturan daerah pengembangan daerah pantai dan izin
peil bangunan yang dikaitkan dengan IMB, serta penertiban dan memperketat
perizinan air bawah tanah.
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Jakarta utara secara geografis berada pada kawasan
rawan bencana alam yaitu banjir rob. Pada kawasan ini telah dibagi zona-zona
per variabel tertentu.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
kerentanan banjir rob adalah aspek
lingkungan: ketinggian pasang air laut, curah hujan, geomatrik sungai,
topografi, jenis tanah, tata guna lahan, penurunan tanah; aspek fisik: rasio panjang jalan
banjir, dan kepadatan bangunan; aspek
sosial: rasio usia tua-balita, tingkat kepadatan penduduk, tingkat laju
pertumbuhan penduduk; aspek ekonomi:
rasio penduduk miskin, dan rasio rumah tangga yang bekerja di sektor rentan.
Zona kerentanan diwilayah penelitian dibagi
menjadi lima kelas zona yaitu zona tidak rentan, zona sedikit rentan, zona
cukup rentan, zona rentan, dan zona sangat rentan. Berdasarkan nilai
kerentanan, kecamatan Cilincing dan kecamatan Tanjung Priok termasuk dalam
katagori sangat rentan, kecamatan Penjaringan, kecamatan Koja dan kecamatan
Pademangantermasuk dalam katagori rentan, sedangkan kecamatan Kelapa Gading
termasuk dalam katagori cukup rentan.
Tingkat kapasitas masyarakat terhadap banjir
rob di dapatkan 3 kelas, yakni kelas kapasitas sangat rendah, kapasitas
sedikit, dan kapasitas cukup. Tingkat kapasitas tertinggi adalah Kecamatan
Cilincing dan Kecamatan Penjaringan.
Pembagian zona ini diperlukan untuk memberikan
penanganan mitigasi yang tepat dan penataan ruang kota yang berbasis mitigasi
bencana untuk zona tersebut sebagai upaya untuk meningkatkan keselamatan dan
kenyamanan hidup warga Jakarta utara.
4.2
Saran
Banjir merupakan masalah yang sering terjadi,
sebaiknya dilakukan kebijakan-kebjakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Selain itu diperlukan kerjasama dan komitmen antara masyarakat dan pemerintah
untuk penanggulangan banjir tersebut. dan
melakukan tindakan-tindakan seperti, melakukan tata ruang dalam pembangunan
kota yang baik, memperbanyak ruang terbuka hijau karena sangat penting bagi
peresapan air, mengubah kebiasaan masyarakat untuk tidak membuang sampah
disungai. Penanggulangan banjir dilakukan secara bertahap dari tahap pra
bencana, tahap penanggungan bencana, tahap pasca bencana. Dari hal ini
dibutuhkan partisipasi dari semua elemen masyarakat dan pemerintah agar dapat
telaksana secara efektif.
DAFTAR PUSTAKA
BPS DKI Jakarta
Dinas Pekerjaan Umum DKI
Jakarta
Mayona, E.L. 2009. Arahan Pengembangan Kota Berbasis
Mitigasi Bencana (Studi Kasus: Kota Garut, Jawa Barat). Makalah dalam Seminar
Nasional Perencanaan Wilayah dan Kota ITS Surabaya “Menuju Penataan Ruang
Perkotaan yang Berkelanjutan, Berdaya saing, dan Berotonomi”. 29 Oktober 2009. http://lib.itenas.ac.id/ (diakses
pada tanggal 13 Desember 2013)
Pedoman Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana. Prasarana sarana ke-pu-an Kementerian Pekerjaan Umum
Peraturan Pemerintah Nomor 26
Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN)
Peraturan Presiden No. 54
tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur
Rangga, C.K. dan Supriharjo, R.D. 2011. Mitigasi Bencana
Banjir Rob di Jakarta Utara. Jurnal
Teknik Pomits. 2 (I): 25-30.
Undang-undang No. 24 Tahun
2007 tentang penanggulangan bencana
Undang-undang
No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang
Yusuf, Yasin. 2005. Anatomi
Banjir Kota Pantai. Surakarta: Pustaka Cakra Surakarta
http://alviansaf.wordpress.com/ (diakses pada tanggal 14 Desember 2013)
https://malhadi-mglenanldi-9f.blogspot.com/ (diakses pada
tanggal 12 September 2013)
Mari Cegah banjir dan Bencana Alam dengan menanam pohon. Sekarang semakin menarik karena ada program revolusioner, "MENANAM POHON SECARA BERKELANJUTAN YANG DIRAWAT OLEH TENAGA PROFESIONAL SEKALIGUS MENDAPATKAN MANFAAT EKONOMI DALAM PENANAMAN DAN KAMPANYENYA"
BalasHapusCari Tahu caranya di : http://www.greenwarriorindonesia.com
Thank you very much
BalasHapusروش صحیح مطالعه
راه های افزایش تمرکز
تمرکز ذهن
تمرکز حواس
روش های تند خوانی
آموزش تندخوانی
جعبه لایتنر
داروی تقویت حافظه
تقویت حافظه کوتاه مدت
روش های تقویت حافظه